Aku teringat pembicaraan yang terjadi antara aku dan beberapa teman sekelas saat praktikum Dasar Budidaya Tanaman di Ngijo. Pembicaraan singkat ini terjadi ketika temanku, Yoan, merasa direndahkan harga dirinya karena ditolak Nadia ketika ia hendak membantu Nadia menyiangi gulma dengan cangkul. Yoan berkata bahwa ia tidak setuju dengan adanya emansipasi wanita.
"Kenapa nggak ada emansipasi pria aja?!" katanya.
Aku dan Nadia berargumen yang mendukung adanya emansipasi wanita, seperti, "Kamu nggak akan ketemu dan pacaran dengan Dinda kalau nggak ada emansipasi wanita," yang ternyata mengena pada Yoan sehingga ia terdiam. Akan tetapi, teman sekelasku juga, si Puguh, membela Yoan dengan berkata bahwa wanita dan laki-laki sudah memiliki kodrat masing-masing dan secara tak langsung, argumennya mengatakan bahwa emansipasi wanita melanggar kodrat tersebut. Aku dan Nadia terdiam. Bukan apa-apa, hanya saja kami merasa malas untuk berdebat dengan lelaki bernama Puguh itu (soalnya pasti langsung kalah -_-"). Okelah, waktu itu aku tak bisa membalas argumennya, tetapi argumen itu akan kubalas di blog ini.
Wanita dan pria memiliki kodrat masing-masing. Pria dikodratkan sebagai imam dan pencari nafkah sedangkan wanita dikodratkan menjadi ibu yang mendukung imam dan merawat anak-anak mereka. Akan tetapi, bagaimana bila si imam sudah tiada atau tak sanggup lagi melaksanakan kodratnya? Misalnya seperti yang terjadi pada keluargaku. Tahun lalu, ayahku meninggal dunia karena sakit. Nah, apakah ibuku harus tetap diam tinggal di rumah dan tidak bekerja untuk menghidupi anak-anaknya? Apakah adik laki-lakiku yang masih SMA dan tidak punya pengalaman bekerja harus disuruh terjun ke dunia kerja? Dan apakah aku harus rela untuk berhenti kuliah? Jawabnya TIDAK, kan?
Aku berterima kasih kepada Ibu Kartini karena telah menggalakkan emansipasi wanita sehingga derajat wanita setara dengan pria. Kalau tidak ada emansipasi, mungkin saat ini keadaan keluargaku menjadi kacau balau. Bagaimana dapat uang untuk biaya hidup kalau bekerja saja tidak diperbolehkan? Apakah ibuku harus menikah lagi untuk bisa membiayai kami? Aduuh... Bagaimanapun, bila kepala keluarga utama (ayah) sudah tidak ada, otomatis ibu lah yang menggantikan posisi beliau, bukan?
Akan tetapi, aku juga tidak setuju dengan emansipasi wanita yang berlebihan. "Berlebihan" di sini maksudnya terlalu tinggi menjunjung emansipasi sehingga kodratnya sebagai wanita dilupakan. Menurutku, emansipasi dilakukan untuk menyetarakan derajat wanita dengan pria, dimana wanita juga berhak mendapatkan pendidikan dan perkerjaan, sama seperti pria. Tetapi, perkataan Puguh ada benarnya juga. Wanita sudah punya kodrat sendiri dan ia tidak boleh mengesampingkan kodrat itu dengan mengambinghitamkan emansipasi. Boleh saja wanita bekerja sebagai sopir bus, pilot ataupun tentara, tetapi jangan sampai suami, anak-anak mereka dan rumah ditinggalkan dan tidak diurus (ini bagi wanita yang sudah berumah tangga), atau tidak mau menikah hanya gara-gara terlalu mencintai pekerjaannya.. Itu tidak baik. (penulis aja pingin nikah, kok... hehe :D).
Emansipasi dibutuhkan ketika seorang pria sudah tak mampu melakukan tugasnya sebagai imam atau kepala keluarga, misalnya seperti keluargaku saat ini atau istri yang berniat membantu suami dalam mencari nafkah, atau bila suami sakit sedangkan anak-anak mereka masih terlalu kecil untuk bekerja, sang ibu berhak bekerja memenuhi biaya hidup keluarga. Hanya saja, jangan sampai posisi pria tergantikan oleh wanita. Dengan kata lain, jangan sampai wanita terlalu mendominasi sehingga peran kaum pria tersisihkan atau direndahkan. Bagaimanapun, emansipasi hanyalah untuk menyetarakan posisi wanita dengan posisi pria, bukan lebih mendominasi daripada pria.
Yah, itulah argumenku tentang emansipasi wanita. Nah, Mas Puguh, apakah ada sanggahan? =)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar