hanya sebuah blog milik seorang blogger amatiran. di sinilah ia menuliskan semua yang ingin ia ungkapkan, tapi yang tak bisa ia utarakan....

Kamis, 15 November 2012

Tentang Papa


                Selamat pagi, siang, malam...
                Kali ini aku ingin bercerita tentang ayahku. Sejak kecil, aku sudah diajari kedua orang tuaku untuk memanggil beliau berdua dengan sebutan Mama dan Papa. Ya, karena kebiasaan itu, aku terus memanggil beliau berdua dengan sebutan Mama dan Papa. Setelah agak besar, aku jadi merasa malu dengan panggilan itu. Bagaimana tidak? Aku jadi seperti anak manja bila memanggil orang tuaku seperti itu. Yah, memang aku anak manja, sih.. -_-a  tapi aku hanya manja ke orang tuaku, tidak ke orang lain. Emang aku siapa? Berani banget manja ke orang lain...( -_-|||). Oke, karena aku sudah mahasiswi, aku akan jujur menggunakan kata “Papa” untuk pria yang menjadi ayahku.
                Papa lahir di Sampit (kalau nggak salah. Aku lupa..) pada tanggal 7 Februari 1966. Tanggal kelahiran di keluargaku termasuk unik. Kalau Papa lahir tanggal 7 Februari, maka aku lahir 7 April sedangkan adikku dan Mama memiliki bulan lahir yang sama dan tanggal yang berdekatan. Mama lahir tanggal 8 September dan adikku tanggal 11 September. Secara sifat, sifatku mirip dengan Papa, tapi ada juga yang mirip Mama. Sifat keras kepalaku dari Papa sedangkan sifat pemalu, pendiam dan nerimoan-ku dari Mama. Kalau adikku sepertinya lebih mirip dengan adik Papa yang terakhir, Lik Mariono. 


                Papa meninggal tahun lalu, tanggal 8 November 2011 di rumah. Saat itu, aku sedang mengikuti UTS semester 1. Kurasa, aku adalah seorang anak yang amat merana dan melas karena tidak mengetahui kematian ayahnya sendiri. Iya, aku tidak akan mengetahui kematian Papa jika tidak disms oleh temanku. Sekali lagi, “Jika tidak disms oleh TEMANKU.”
                Ceritanya begini. Hari itu hari Rabu dan hujan gerimis turun. Meski ujian masih lama (jam 12 siang), aku tetap bangun pagi untuk bisa belajar dan membantu mbak sekamarku, Mbak Dinas memasak sarapan. Pagi itu, saat subuh, tiba-tiba ponsel adikku (aku memakai ponsel adikku karena ponselku sedang diservis) menerima pesan singkat dari teman dekatku di SMA, Rika. Tiba-tiba Rika bertanya seperti ini: “Nggak pulang, Ran?”
                Aku mengernyit. Apa maksudnya? Aku membalas tidak karena ada ujian jam 12 nanti. Lalu Rika sms lagi: “Oh, iya wes. Nanti kalo pulang sms aku ya Ran.” Aku masih heran, tapi kuiyakan saja smsnya.
                Itu baru satu temanku yang bersikap aneh. Ada satu lagi teman dekatku di kos yang juga bersikap aneh. Mbak Ita (aku memanggilnya begitu karena kami sudah bersama sejak TK) tiba-tiba mampir ke kamarku dan duduk di kasur Mbak Dinas. Ketika aku bertanya ada apa, ia hanya menggeleng dan bertanya-tanya tentang ujian. Akhirnya, aku meninggalkannya di kamar dan membantu Mbak Dinas di dapur kos.
                Beberapa menit kemudian, aku kembali ke kamar, mengecek smsku. Saat itu masih pukul 7 pagi dan ada sms dari nomor tak dikenal yang berkata:
                Ran, aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu. Semoga beliau diterima di sisi Nya dan keluarganya diberi ketabahan.
                DEG! Jantungku kala itu berhenti. Apa ini? Siapa ini? Lalu ponselku kembali berbunyi. Ada sms masuk dan kalimatnya hampir sama dengan sms sebelumnya yang juga mengatakan: Papa meninggal.
                Aku langsung memencet nomor rumahku (saat itu aku sudah tak peduli pada pulsa) dan menelepon Mama. Saat diangkat, aku langsung bertanya dengan tidak sabar.
                “Ma, Papa kenapa, Ma? Papa kenapa?”
                Jantungku berdebar kencang menunggu jawaban Mama. Dadaku sesak. Aku benar-benar memiliki firasat buruk. Firasat buruk yang mengatakan bahwa ucapan belasungkawa itu benar adanya. Sayup-sayup terdengar suara Mama yang seperti menahan tangis.
                “Papamu meninggal, Raaann...!”
                Seketika itu juga, tangisku pecah. Mama masih bicara, tapi aku tidak bisa menangkap maksud Mama. Yang ada di pikiranku saat itu adalah Papa benar-benar meninggal dan aku harus pulang!
                Tiba-tiba suara Mama terhenti dan tak terdengar lagi. Ternyata pulsaku habis. Aku menangis, meraung seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya di kamar. Hujan sekarang menjadi lebat. Mbak Ita kembali ke kamarku dan memelukku. Ternyata dia sudah tahu berita itu sejak subuh tadi, dari ayahnya. Keluarga Mbak Ita dan keluargaku memang akrab sejak dulu, bahkan mungkin sebelum kami lahir. Dia ingin memberi tahuku, tetapi ayahnya tidak mengizinkan.
                Saat itu, terbesit sesuatu di pikiranku yang membuatku marah. Kenapa aku tidak diberi tahu? Kenapa banyak teman yang tahu kematian Papa tapi aku sendiri tidak tahu? Padahal aku anak kandungnya, kenapa aku tidak diberi tahu? Kenapa??
                “Ayahku nggak mau aku ngasih tahu kamu, soalnya takut kamu nggak bisa konsentrasi ke ujian, Ran...,” kata Mbak Ita. Aku hanya terisak. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ternyata Mama. Aku mengangkatnya dan mendengarkan Mama berbicara. Beliau mengatakan kalau aku tidak boleh pulang dengan bus. Sudah ada yang menjemput, Pak Nunung dan temannya. Pak Nunung adalah teman dekat Papa dan Mama. Beliau dan istrinya sering mengunjungi toko kami dan juga membantu kami, salah satu contoh kebaikannya adalah dengan menjemputku ke kos hari itu.
                Ketika mobil Pak Nunung dan temannya datang, aku buru-buru keluar. Mbak-mbak kos – Mbak Ghea, Mbak Dinas, Farah dan Mbak Ita – ribut mengingatkanku untuk membawa barang-barang yang mungkin kuperlukan. Sebelumnya, aku sudah menulis surat izin tidak mengikuti UTS dan surat itu sudah kuantar ke temanku, Elsa, yang kosnya lumayan dekat. Saat ditanya Elsa, aku hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan ketika ia menebak bahwa aku sedang sakit dan itu adalah surat dokter. Setelah itu, aku pun masuk ke mobil dan pulang menuju Pasuruan, menuju tempat Papa.
                Aku pun mengirim sms kepada Rika. Aku mengabarinya bahwa aku sedang dalam perjalanan pulang. Rika juga ternyata sudah tahu kematian Papa. Ia bercerita bahwa ia mendengar berita kematian Papa dari pengumuman di masjid Abdurrahman di dekat rumah. Kebetulan, Rika sedang berada di rumah suaminya di Bugul (temanku ini sudah menikah dan alhamdulillah sekarang sedang mengandung 4 bulan). Rika juga tidak berani mengabarkan berita itu kepadaku.
                Aku hanya terdiam dalam mobil selama perjalanan. Aku masih terisak, tapi sudah agak tenang. Alunan lagu berjudul Haruka dari grup band yang kusuka, Greeeen setia menemaniku terisak di sana. Tiba-tiba ponselku berbunyi dan ternyata sms dari teman sekelasku, Santika.
                Santika: kamu ke kampus jam berapa, Ran?
                Aku: aku nggak ke kampus, San.
                Santika: loh, kenapa?
                Aku: aku nggak ikut ujian, San.
                Santika: kenapa Ran? Kamu sakit?
                Aku menarik nafas panjang, berusaha untuk tidak terisak lagi ketika mengetik:
 Ayahku meninggal, San...  
Hening. Santika tidak membalas. Aku menghela nafas. Lagu Haruka kembali mengalun. Aku melihat pemandangan di luar kaca mobil. Hari masih hujan, tapi hanya gerimis. Pohon-pohon flamboyan di pinggir jalan sudah berbunga, indah sekali. Aku selalu senang bila melihat flamboyan yang bermekaran, apalagi jika hari itu turun hujan. Rasanya romantis dan menenangkan. Namun, kali ini yang kurasakan hanyalah kesedihan dan kerinduan pada Papa. Ah, juga rasa sesal. Sakit rasanya bila mengingat kelakuanku pada Papa dahulu.
Ponselku berbunyi lagi. Sms. Kali ini aku membelalak. Sms itu dari Sandi, ketua kelas di kelas D, kelasku saat semester 1. Sepertinya Santika memberi tahu Sandi tentang Papa. Bunyinya adalah pengumuman meninggalnya Papaku dan tawaran untuk nyelawat ke rumahku.
Hah? Rumahku?! Teman-teman kelas D ke rumahku? Ke Pasuruan??
Aku menganga dan langsung membalas sms Sandi. Aku berkata kalau teman-teman tidak perlu sampai ke rumah, kasihan. Lagipula, lusa masih ujian. Akan tetapi, Sandi tetap bersikeras untuk nyelawat. Santika juga, setelah beberapa saat tidak sms, dia ikut mengatakan belasungkawanya dan setuju untuk nyelawat ke rumah. Ponselku langsung penuh oleh sms belasungkawa saat itu. Aku senang. Teman-temanku juga mendoakan Papa. Aku senang.
Sampai di rumah, sudah pukul 11 kalau tak salah. Aku berangkat dari kos jam 9. Jalanan macet karena hujan, makanya baru sampai jam 11 lebih. Saat itu pemandangan tak biasa terhampar di hadapanku. Di rumahku banyak orang-orang yang datang dan yang lebih mencolok adalah adanya kain hijau segar yang terbentang di pagar gudang. Di situ ada Papa, pikirku. Aku melihat banyak kerabat datang ke rumah. Dari Jember, dari Madiun, bahkan Bu Lik Eni dan Om Tono juga datang. Aku langsung masuk ke rumah dan mencari Mama.
Mama sedang duduk di ruang tamu, menemani orang-orang yang datang nyelawat. Aku agak kaget karena kulihat Mama sama sekali tidak seperti habis menangis. Beliau bahkan tidak menangis saat aku mencium tangan beliau. Beliau hanya mengelus kepalaku sambil berkata, “Yang sabar, ya Ran. Kita harus kuat.” Aku mengangguk. Aku menahan air mataku, berusaha tidak terlihat menangis di depan beliau. Bagaimanapun, Mama adalah orang yang paling bersedih atas kematian Papa. 
Ada satu hal yang kusayangkan saat di rumah. Aku tidak melihat wajah Papa untuk yang terakhir kalinya. Sebenarnya, saat itu, Nenek (dari Mama. Nenek dari Papa masih dalam perjalanan dari Sampit ke Pasuruan) juga belum melihat Papa dan ingin melihat wajah beliau, tetapi, adik Papa, Lik Mono, sudah menutup wajah Papa dengan kain dan mengatakan pada Nenek kalau tidak usah melihat wajah Papa. Lik Mono seperti ingin proses pemakaman Papa berjalan cepat. Aku tak tahu apa alasan beliau, yang pasti, aku sedih. Aku tidak bisa melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali.
Terakhir kali aku melihat wajah Papa adalah pada hari Minggu sore, saat aku akan berangkat ke Malang bersama Mbak Ita dan kakaknya, Mas Reza. Niatnya, kami akan diantar oleh Pak Arif – orang tua Mbak Ita dan Mas Reza – dengan menggunakan mobil Papa. Akan tetapi, ternyata lampu mobilnya mati dan bisa bahaya kalau dibawa ke Malang karena kami pasti akan sampai di Malang saat Maghrib. Akhirnya, Pak Arif hanya mengantar kami ke Bonagung untuk mencegat bus. Kata-kata terakhir Papa saat aku akan berangkat adalah “Hati-hati, Ran.” Dan itu menjadi pesan terakhir Papa untukku sebelum ia meninggalkanku, Mama dan adik untuk selamanya.
Ternyata benar kata orang bijak bahwa kita takkan tahu betapa berharganya seseorang sebelum seseorang itu meninggalkan kita. Itulah yang terjadi padaku. Aku tidak pernah tahu betapa berharganya seorang Papa sebelum beliau meninggalkanku untuk selamanya. Aku tidak pernah tahu betapa berharganya kenangan-kenangan bersama seorang Papa.
Dulu, aku selalu merengut ketika disuruh Papa untuk membuatkan teh, atau memijat, atau mengambilkan sesuatu. Jujur, dulu aku tidak terlalu suka pada Papa. Papa tidak perhatian seperti Mama, sukanya menyuruh-nyuruh, tidak pernah mengantarku ke sekolah. Jarang sekali aku diantar Papa saat pergi ke sekolah dulu. Saat TK, aku selalu berangkat bersama dengan Mbak Ita, dibonceng Pak Arif atau Bu Arif menggunakan vespa tua mereka. Saat SD, aku diantar jemput dengan becak, Cak Kandar namanya (Cak Kandar sudah meninggal sebelum Papa) dan hanya beberapa kali aku diantar ke sekolah oleh Papa pada saat SMP. Saat SMA, terkadang Papa mengantarku jika ada pelajaran olahraga pagi, terkadang juga Cak Kandar. Menginjak kelas 2, aku sudah bisa naik motor sendiri dan alhamdulillah Papa bisa membeli motor saat aku kelas 1 SMA (motor itu masih kupakai sampai saat ini).
Sebelum sakit dan setelah berkenalan dengan seseorang – yang menurutku, Mama dan adik – tidak benar, Papa menjadi seorang yang pemarah, pembentak dan sering berkata kasar. Aku selalu tidak suka bila Papa ada di rumah saat itu. Bila Papa ada di rumah dan sedang menonton televisi, aku pasti mengurung diri di kamar. Aku juga tidak suka diperintah-perintah, meski perintah itu hanya sekedar membuatkan teh atau mengambil remote televisi. Papa juga pernah menjadi perokok karena “orang yang tidak benar” itu juga merokok. Pokoknya, selama berteman dengan “orang tidak benar” itu, Papa menjadi kacau. Beliau tak lagi rajin menjalankan sholat, malah percaya dengan hal-hal mistis, merokok meski sebentar, sukanya nongkrong dan makan nasi goreng malam-malam, dan sebagainya. Kurasa, karena hal itulah, ginjal Papa jadi tak sehat. Beliau juga sering minum-minuman berenergi macam Kra******** saat bepergian dan jarang minum air putih.
Alhamdulillah, setelah lepas dari “orang tidak benar” itu, Papa jadi mulai rajin sholat. Akan tetapi, dampak buruknya, ginjal Papa sakit. Sampai-sampai harus operasi dan cuci darah. Itu terjadi saat aku SMA, kalau tak salah kelas 2 SMA dan adikku masih SMP kelas 3. Masa-masa itu, aku dan adikku sering ditinggal oleh Mama karena beliau harus menemani Papa di rumah sakit. Alhamdulillah juga, meski masih harus bolak-balik Pasuruan-Malang untuk cuci darah tiap Selasa dan Jum’at, kondisi Papa terlihat sehat. Tapi ternyata Papa meninggal meski kondisinya sudah sehat...
Itu cerita dulu. Sekarang, aku sadar. Ketika aku memutar kembali memori-memori bersama Papa, aku sadar. Papa selalu tersenyum sambil bilang, “Makasih, sayang...” padaku saat aku menyodorkan teh panas di depannya. Dan beliau memuji teh buatanku dengan berkata, “Enyak enyak enyak...” yang anehnya pujian itu takkugubris. Aku juga sadar, saat aku SD, sebelum Papa bertemu dengan “orang tidak benar itu”, Papa selalu mengajak keluarganya berlibur. Lumayan banyak tempat wisata yang sudah kukunjungi bersama Papa. Taman Safari di Pandaan ketika aku masih TK, Sengkaling ketika aku masih SD kelas 1 atau 2 (aku lupa), pemandian air panas di Pacitan (kalau ini dengan Nenek dari Mama dan Pak Arif sekeluarga, saat aku SD juga sepertinya), Sengkaling di Batu, Malang, juga ketika aku SD. Ke Watu Ulo di Jember dengan kerabat-kerabat jauh, juga ketika aku SD.... Yang belum pernah dan paling ingin kukunjungi bersama keluarga sejak dulu adalah Bromo. Sejak dulu, dulu sekali, aku sudah meminta pada Papa untuk berlibur ke Bromo, tetapi Papa hanya mengucap kata “iya” tanpa menepatinya. Sepertinya, itu saat beliau sudah mengenal “orang tidak benar” itu sehingga aku, adik dan Mama jadi nomor ke sekian dalam hidupnya.
Aku rindu Papa. Rindu tawanya. Rindu kejahilannya. Rindu suara merdunya saat karaoke di rumah, menyanyikan lagu-lagu Didi Kempot atau campur sari dan lagu-lagu lama lainnya. Rindu membuatkan teh panas dengan satu sendok gula di dalamnya. Rindu memijat betis dan pundaknya.. Rindu mengambilkan makanan untuknya..
Rindu
Rindu
Rindu
 Hanya rindu dan sesal yang kurasakan. Sesal karena aku belum bisa membuatnya bangga, sesal karena aku belum mengatakan “aku sayang Papa” atau hanya sekedar permintaan maaf sebelum ajal menjemputnya...
Papa, aku sayang Papa. Terima kasih, sudah mau menerima, merawat dan membimbingku. Maaf, aku belum bisa membuatmu bangga padaku semasa engkau hidup.... Aku bangga Papa adalah ayahku...
                                                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar