Selamat
pagi, siang, malam...
Kali
ini aku ingin bercerita tentang ayahku. Sejak kecil, aku sudah diajari kedua
orang tuaku untuk memanggil beliau berdua dengan sebutan Mama dan Papa. Ya,
karena kebiasaan itu, aku terus memanggil beliau berdua dengan sebutan Mama dan
Papa. Setelah agak besar, aku jadi merasa malu dengan panggilan itu. Bagaimana
tidak? Aku jadi seperti anak manja bila memanggil orang tuaku seperti itu. Yah,
memang aku anak manja, sih.. -_-a tapi aku
hanya manja ke orang tuaku, tidak ke orang lain. Emang aku siapa? Berani banget
manja ke orang lain...( -_-|||). Oke, karena aku sudah mahasiswi, aku akan
jujur menggunakan kata “Papa” untuk pria yang menjadi ayahku.
Papa
lahir di Sampit (kalau nggak salah. Aku lupa..) pada tanggal 7 Februari 1966.
Tanggal kelahiran di keluargaku termasuk unik. Kalau Papa lahir tanggal 7
Februari, maka aku lahir 7 April sedangkan adikku dan Mama memiliki bulan lahir
yang sama dan tanggal yang berdekatan. Mama lahir tanggal 8 September dan
adikku tanggal 11 September. Secara sifat, sifatku mirip dengan Papa, tapi ada
juga yang mirip Mama. Sifat keras kepalaku dari Papa sedangkan sifat pemalu,
pendiam dan nerimoan-ku dari Mama.
Kalau adikku sepertinya lebih mirip dengan adik Papa yang terakhir, Lik
Mariono.
Papa
meninggal tahun lalu, tanggal 8 November 2011 di rumah. Saat itu, aku sedang
mengikuti UTS semester 1. Kurasa, aku adalah seorang anak yang amat merana dan
melas karena tidak mengetahui kematian ayahnya sendiri. Iya, aku tidak akan
mengetahui kematian Papa jika tidak disms oleh temanku. Sekali lagi, “Jika tidak
disms oleh TEMANKU.”
Ceritanya
begini. Hari itu hari Rabu dan hujan gerimis turun. Meski ujian masih lama (jam
12 siang), aku tetap bangun pagi untuk bisa belajar dan membantu mbak
sekamarku, Mbak Dinas memasak sarapan. Pagi itu, saat subuh, tiba-tiba ponsel
adikku (aku memakai ponsel adikku karena ponselku sedang diservis) menerima
pesan singkat dari teman dekatku di SMA, Rika. Tiba-tiba Rika bertanya seperti
ini: “Nggak pulang, Ran?”
Aku
mengernyit. Apa maksudnya? Aku membalas tidak karena ada ujian jam 12 nanti.
Lalu Rika sms lagi: “Oh, iya wes. Nanti kalo pulang sms aku ya Ran.” Aku masih
heran, tapi kuiyakan saja smsnya.
Itu
baru satu temanku yang bersikap aneh. Ada satu lagi teman dekatku di kos yang
juga bersikap aneh. Mbak Ita (aku memanggilnya begitu karena kami sudah bersama
sejak TK) tiba-tiba mampir ke kamarku dan duduk di kasur Mbak Dinas. Ketika aku
bertanya ada apa, ia hanya menggeleng dan bertanya-tanya tentang ujian.
Akhirnya, aku meninggalkannya di kamar dan membantu Mbak Dinas di dapur kos.
Beberapa
menit kemudian, aku kembali ke kamar, mengecek smsku. Saat itu masih pukul 7
pagi dan ada sms dari nomor tak dikenal yang berkata:
Ran, aku turut berduka cita atas
meninggalnya ayahmu. Semoga beliau diterima di sisi Nya dan keluarganya diberi
ketabahan.
DEG!
Jantungku kala itu berhenti. Apa ini?
Siapa ini? Lalu ponselku kembali berbunyi. Ada sms masuk dan kalimatnya
hampir sama dengan sms sebelumnya yang juga mengatakan: Papa meninggal.
Aku
langsung memencet nomor rumahku (saat itu aku sudah tak peduli pada pulsa) dan
menelepon Mama. Saat diangkat, aku langsung bertanya dengan tidak sabar.
“Ma,
Papa kenapa, Ma? Papa kenapa?”
Jantungku
berdebar kencang menunggu jawaban Mama. Dadaku sesak. Aku benar-benar memiliki
firasat buruk. Firasat buruk yang mengatakan bahwa ucapan belasungkawa itu
benar adanya. Sayup-sayup terdengar suara Mama yang seperti menahan tangis.
“Papamu
meninggal, Raaann...!”
Seketika
itu juga, tangisku pecah. Mama masih bicara, tapi aku tidak bisa menangkap
maksud Mama. Yang ada di pikiranku saat itu adalah Papa benar-benar meninggal
dan aku harus pulang!
Tiba-tiba
suara Mama terhenti dan tak terdengar lagi. Ternyata pulsaku habis. Aku
menangis, meraung seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya di
kamar. Hujan sekarang menjadi lebat. Mbak Ita kembali ke kamarku dan memelukku.
Ternyata dia sudah tahu berita itu sejak subuh tadi, dari ayahnya. Keluarga
Mbak Ita dan keluargaku memang akrab sejak dulu, bahkan mungkin sebelum kami
lahir. Dia ingin memberi tahuku, tetapi ayahnya tidak mengizinkan.
Saat
itu, terbesit sesuatu di pikiranku yang membuatku marah. Kenapa aku tidak diberi tahu? Kenapa banyak teman yang tahu kematian
Papa tapi aku sendiri tidak tahu? Padahal aku anak kandungnya, kenapa aku tidak
diberi tahu? Kenapa??
“Ayahku
nggak mau aku ngasih tahu kamu, soalnya takut kamu nggak bisa konsentrasi ke
ujian, Ran...,” kata Mbak Ita. Aku hanya terisak. Tiba-tiba ponselku berbunyi.
Ternyata Mama. Aku mengangkatnya dan mendengarkan Mama berbicara. Beliau
mengatakan kalau aku tidak boleh pulang dengan bus. Sudah ada yang menjemput,
Pak Nunung dan temannya. Pak Nunung adalah teman dekat Papa dan Mama. Beliau
dan istrinya sering mengunjungi toko kami dan juga membantu kami, salah satu
contoh kebaikannya adalah dengan menjemputku ke kos hari itu.
Ketika
mobil Pak Nunung dan temannya datang, aku buru-buru keluar. Mbak-mbak kos –
Mbak Ghea, Mbak Dinas, Farah dan Mbak Ita – ribut mengingatkanku untuk membawa
barang-barang yang mungkin kuperlukan. Sebelumnya, aku sudah menulis surat izin
tidak mengikuti UTS dan surat itu sudah kuantar ke temanku, Elsa, yang kosnya
lumayan dekat. Saat ditanya Elsa, aku hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan
ketika ia menebak bahwa aku sedang sakit dan itu adalah surat dokter. Setelah
itu, aku pun masuk ke mobil dan pulang menuju Pasuruan, menuju tempat Papa.
Aku pun
mengirim sms kepada Rika. Aku mengabarinya bahwa aku sedang dalam perjalanan
pulang. Rika juga ternyata sudah tahu kematian Papa. Ia bercerita bahwa ia
mendengar berita kematian Papa dari pengumuman di masjid Abdurrahman di dekat
rumah. Kebetulan, Rika sedang berada di rumah suaminya di Bugul (temanku ini
sudah menikah dan alhamdulillah sekarang sedang mengandung 4 bulan). Rika juga
tidak berani mengabarkan berita itu kepadaku.
Aku hanya
terdiam dalam mobil selama perjalanan. Aku masih terisak, tapi sudah agak
tenang. Alunan lagu berjudul Haruka dari grup band yang kusuka, Greeeen setia
menemaniku terisak di sana. Tiba-tiba ponselku berbunyi dan ternyata sms dari
teman sekelasku, Santika.
Santika: kamu ke kampus jam berapa, Ran?
Aku: aku nggak ke kampus, San.
Santika:
loh, kenapa?
Aku: aku nggak ikut ujian, San.
Santika:
kenapa Ran? Kamu sakit?
Aku
menarik nafas panjang, berusaha untuk tidak terisak lagi ketika mengetik:
Ayahku meninggal, San...
Hening. Santika tidak membalas.
Aku menghela nafas. Lagu Haruka kembali mengalun. Aku melihat pemandangan di
luar kaca mobil. Hari masih hujan, tapi hanya gerimis. Pohon-pohon flamboyan di
pinggir jalan sudah berbunga, indah sekali. Aku selalu senang bila melihat
flamboyan yang bermekaran, apalagi jika hari itu turun hujan. Rasanya romantis
dan menenangkan. Namun, kali ini yang kurasakan hanyalah kesedihan dan
kerinduan pada Papa. Ah, juga rasa sesal. Sakit rasanya bila mengingat
kelakuanku pada Papa dahulu.
Ponselku berbunyi lagi. Sms. Kali
ini aku membelalak. Sms itu dari Sandi, ketua kelas di kelas D, kelasku saat
semester 1. Sepertinya Santika memberi tahu Sandi tentang Papa. Bunyinya adalah
pengumuman meninggalnya Papaku dan tawaran untuk nyelawat ke rumahku.
Hah? Rumahku?! Teman-teman kelas
D ke rumahku? Ke Pasuruan??
Aku menganga dan langsung
membalas sms Sandi. Aku berkata kalau teman-teman tidak perlu sampai ke rumah,
kasihan. Lagipula, lusa masih ujian. Akan tetapi, Sandi tetap bersikeras untuk
nyelawat. Santika juga, setelah beberapa saat tidak sms, dia ikut mengatakan
belasungkawanya dan setuju untuk nyelawat ke rumah. Ponselku langsung penuh oleh
sms belasungkawa saat itu. Aku senang. Teman-temanku juga mendoakan Papa. Aku
senang.
Sampai di rumah, sudah pukul 11
kalau tak salah. Aku berangkat dari kos jam 9. Jalanan macet karena hujan,
makanya baru sampai jam 11 lebih. Saat itu pemandangan tak biasa terhampar di
hadapanku. Di rumahku banyak orang-orang yang datang dan yang lebih mencolok
adalah adanya kain hijau segar yang terbentang di pagar gudang. Di situ ada
Papa, pikirku. Aku melihat banyak kerabat datang ke rumah. Dari Jember, dari
Madiun, bahkan Bu Lik Eni dan Om Tono juga datang. Aku langsung masuk ke rumah
dan mencari Mama.
Mama sedang duduk di ruang tamu,
menemani orang-orang yang datang nyelawat. Aku agak kaget karena kulihat Mama
sama sekali tidak seperti habis menangis. Beliau bahkan tidak menangis saat aku
mencium tangan beliau. Beliau hanya mengelus kepalaku sambil berkata, “Yang
sabar, ya Ran. Kita harus kuat.” Aku mengangguk. Aku menahan air mataku,
berusaha tidak terlihat menangis di depan beliau. Bagaimanapun, Mama adalah
orang yang paling bersedih atas kematian Papa.
Ada satu hal yang kusayangkan
saat di rumah. Aku tidak melihat wajah Papa untuk yang terakhir kalinya.
Sebenarnya, saat itu, Nenek (dari Mama. Nenek dari Papa masih dalam perjalanan
dari Sampit ke Pasuruan) juga belum melihat Papa dan ingin melihat wajah
beliau, tetapi, adik Papa, Lik Mono, sudah menutup wajah Papa dengan kain dan
mengatakan pada Nenek kalau tidak usah melihat wajah Papa. Lik Mono seperti
ingin proses pemakaman Papa berjalan cepat. Aku tak tahu apa alasan beliau,
yang pasti, aku sedih. Aku tidak bisa melihat wajah Papa untuk yang terakhir
kali.
Terakhir kali aku melihat wajah
Papa adalah pada hari Minggu sore, saat aku akan berangkat ke Malang bersama
Mbak Ita dan kakaknya, Mas Reza. Niatnya, kami akan diantar oleh Pak Arif –
orang tua Mbak Ita dan Mas Reza – dengan menggunakan mobil Papa. Akan tetapi,
ternyata lampu mobilnya mati dan bisa bahaya kalau dibawa ke Malang karena kami
pasti akan sampai di Malang saat Maghrib. Akhirnya, Pak Arif hanya mengantar
kami ke Bonagung untuk mencegat bus. Kata-kata terakhir Papa saat aku akan
berangkat adalah “Hati-hati, Ran.” Dan itu menjadi pesan terakhir Papa untukku
sebelum ia meninggalkanku, Mama dan adik untuk selamanya.
Ternyata benar kata orang bijak
bahwa kita takkan tahu betapa berharganya seseorang sebelum seseorang itu
meninggalkan kita. Itulah yang terjadi padaku. Aku tidak pernah tahu betapa
berharganya seorang Papa sebelum beliau meninggalkanku untuk selamanya. Aku
tidak pernah tahu betapa berharganya kenangan-kenangan bersama seorang Papa.
Dulu, aku selalu merengut ketika
disuruh Papa untuk membuatkan teh, atau memijat, atau mengambilkan sesuatu.
Jujur, dulu aku tidak terlalu suka pada Papa. Papa tidak perhatian seperti
Mama, sukanya menyuruh-nyuruh, tidak pernah mengantarku ke sekolah. Jarang
sekali aku diantar Papa saat pergi ke sekolah dulu. Saat TK, aku selalu
berangkat bersama dengan Mbak Ita, dibonceng Pak Arif atau Bu Arif menggunakan
vespa tua mereka. Saat SD, aku diantar jemput dengan becak, Cak Kandar namanya
(Cak Kandar sudah meninggal sebelum Papa) dan hanya beberapa kali aku diantar
ke sekolah oleh Papa pada saat SMP. Saat SMA, terkadang Papa mengantarku jika
ada pelajaran olahraga pagi, terkadang juga Cak Kandar. Menginjak kelas 2, aku sudah
bisa naik motor sendiri dan alhamdulillah Papa bisa membeli motor saat aku
kelas 1 SMA (motor itu masih kupakai sampai saat ini).
Sebelum sakit dan setelah
berkenalan dengan seseorang – yang menurutku, Mama dan adik – tidak benar, Papa
menjadi seorang yang pemarah, pembentak dan sering berkata kasar. Aku selalu
tidak suka bila Papa ada di rumah saat itu. Bila Papa ada di rumah dan sedang
menonton televisi, aku pasti mengurung diri di kamar. Aku juga tidak suka
diperintah-perintah, meski perintah itu hanya sekedar membuatkan teh atau
mengambil remote televisi. Papa juga pernah menjadi perokok karena “orang yang
tidak benar” itu juga merokok. Pokoknya, selama berteman dengan “orang tidak
benar” itu, Papa menjadi kacau. Beliau tak lagi rajin menjalankan sholat, malah
percaya dengan hal-hal mistis, merokok meski sebentar, sukanya nongkrong dan
makan nasi goreng malam-malam, dan sebagainya. Kurasa, karena hal itulah,
ginjal Papa jadi tak sehat. Beliau juga sering minum-minuman berenergi macam
Kra******** saat bepergian dan jarang minum air putih.
Alhamdulillah, setelah lepas dari
“orang tidak benar” itu, Papa jadi mulai rajin sholat. Akan tetapi, dampak
buruknya, ginjal Papa sakit. Sampai-sampai harus operasi dan cuci darah. Itu
terjadi saat aku SMA, kalau tak salah kelas 2 SMA dan adikku masih SMP kelas 3.
Masa-masa itu, aku dan adikku sering ditinggal oleh Mama karena beliau harus
menemani Papa di rumah sakit. Alhamdulillah juga, meski masih harus bolak-balik
Pasuruan-Malang untuk cuci darah tiap Selasa dan Jum’at, kondisi Papa terlihat
sehat. Tapi ternyata Papa meninggal meski kondisinya sudah sehat...
Itu cerita dulu. Sekarang, aku
sadar. Ketika aku memutar kembali memori-memori bersama Papa, aku sadar. Papa
selalu tersenyum sambil bilang, “Makasih, sayang...” padaku saat aku
menyodorkan teh panas di depannya. Dan beliau memuji teh buatanku dengan
berkata, “Enyak enyak enyak...” yang anehnya pujian itu takkugubris. Aku juga
sadar, saat aku SD, sebelum Papa bertemu dengan “orang tidak benar itu”, Papa
selalu mengajak keluarganya berlibur. Lumayan banyak tempat wisata yang sudah
kukunjungi bersama Papa. Taman Safari di Pandaan ketika aku masih TK,
Sengkaling ketika aku masih SD kelas 1 atau 2 (aku lupa), pemandian air panas
di Pacitan (kalau ini dengan Nenek dari Mama dan Pak Arif sekeluarga, saat aku
SD juga sepertinya), Sengkaling di Batu, Malang, juga ketika aku SD. Ke Watu
Ulo di Jember dengan kerabat-kerabat jauh, juga ketika aku SD.... Yang belum
pernah dan paling ingin kukunjungi bersama keluarga sejak dulu adalah Bromo.
Sejak dulu, dulu sekali, aku sudah meminta pada Papa untuk berlibur ke Bromo,
tetapi Papa hanya mengucap kata “iya” tanpa menepatinya. Sepertinya, itu saat
beliau sudah mengenal “orang tidak benar” itu sehingga aku, adik dan Mama jadi
nomor ke sekian dalam hidupnya.
Aku rindu Papa. Rindu tawanya.
Rindu kejahilannya. Rindu suara merdunya saat karaoke di rumah, menyanyikan
lagu-lagu Didi Kempot atau campur sari dan lagu-lagu lama lainnya. Rindu
membuatkan teh panas dengan satu sendok gula di dalamnya. Rindu memijat betis
dan pundaknya.. Rindu mengambilkan makanan untuknya..
Rindu
Rindu
Rindu
Hanya rindu dan sesal yang kurasakan. Sesal
karena aku belum bisa membuatnya bangga, sesal karena aku belum mengatakan “aku
sayang Papa” atau hanya sekedar permintaan maaf sebelum ajal menjemputnya...
Papa, aku sayang Papa. Terima
kasih, sudah mau menerima, merawat dan membimbingku. Maaf, aku belum bisa
membuatmu bangga padaku semasa engkau hidup.... Aku bangga Papa adalah
ayahku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar