Kusambut pagi ini dengan riang
seperti biasanya. Sambil berdo’a: “semoga hari ini lebih baik dari kemarin”,
aku pamit pada kedua orangtuaku untuk menuntut ilmu. Dengan mengendarai kuda
putihku (maksudnya sepeda motor berwarna putih), aku pun menuju ke rumah
sahabatku, Eri, untuk mengajaknya berangkat bersama.
Rumah
Eri sangat besar, walaupun tak sebesar kerajaan Nabi Sulaiman a.s. Namun Eri
dan keluarganya tidaklah sombong, mereka amat ramah dan dermawan. Mereka tak
segan-segan memberikan sejumlah uang pada warga atau tetangga yang kesusahan.
Aku mengetahui hal itu karena sudah 3 tahun aku berteman dengan Eri dan hapal
betul kebiasaannya yang memberi sedekah pada gelandangan.
Sesampainya
di rumah Eri, kulihat ia sudah siap dengan Revo merahnya.
“Assalamu’alaikum,”
salam Eri.
“Wa’alaikumussalam
warahmatullah,” jawabku.
“Langsung
aja, yuk!” Ajak Eri seraya menstarter sepedanya. “Kasihan si Nida yang lagi
nunggu.”
Aku mengangguk. Kami pun
berangkat ke rumah Nida, sahabatku yang kedua.
Berbeda dengan Eri, rumah Nida
lumayan kecil. Maklum, ayahnya hanyalah supir angkot dan ibunya bekerja sebagai
penjual kue keliling. Kakaknya hanya lulusan SMA dan kini bekerja sebagai buruh
bangunan. Meski demikian, dengan ikhlas aku dan Eri menerima Nida sebagai
sahabat kami karena menurut kami, Nida memiliki kekayaan yang lebih dari pada
aku maupun Eri, yaitu kekayaan hati dan pengetahuan.
Rumah Nida terletak di sebuah
gang. Ada aturan yang berlaku di gang itu, yakni sepeda motor harus dituntun
jika ingin masuk ke dalam. Bagiku dan Eri, hal itu sangat merepotkan karena
jalan masuk ke rumah Nida lumayan jauh. Untunglah, Nida amat pengertian pada
kami. Ia selalu menunggu di depan gang saat kami berjanji akan menjemputnya.
“Assalamu’alaikum,” salamku
dan Eri kompak.
“Wa’alaikumussalam Wr. Wb.,”
jawab Nida tersenyum.
“Ayo, Nid, naik!” ajak Eri.
“Mau digonceng Hana yang ‘lemah gemulai’ atau aku yang super cepat?” Eri
menyeringai ke arahku. Aku pura-pura tak mendengar.
“Hana aja, deh,” kata Nida,
tersenyum. Aku menjulurkan lidahku ke arah Eri, tapi dia hanya bersikap cool sambil mengangkat bahu.
Lalu, kuda putihku dan kuda
merah (memangnya ada?) milik Eri pun melaju ke sekolah kami tercinta, SMA Purna
Wijaya.
***
“Haah... Alhamdulillah ujian Semester 1
selesai,” kataku sambil menghela nafas lega. Seminggu yang lalu kami menjalani
ujian Semester 1 yang amat berat, menurutku. “Kira-kira kimiaku dapat berapa,
ya? Aku benar-benar nggak bisa ngerjakan waktu itu..”
“Kalau aku, sih, pasti dapat
seratus!” kata Eri dengan sombongnya. Aku mendengus kesal.
“Huh, kamu kan anak IPS, mana
mungkin dapat soal kimia!” balasku.
“Aku ragu dengan matematikaku,”
kata Nida. Ia menunduk sedih. “Dari dulu aku lemah di matematika.”
“Tenang saja, Nid,” kata Eri
sambil menepuk pundak Nida. “Nanti bakalan diajari sama si Profesor Hana ini.”
Eri menunjukku sambil tertawa
mengejek. Aku memukul lengannya karena sebal.
“Aku nggak mau jadi Profesor!”
teriakku di dekat telinga Eri. Spontan ia menutup telinganya. “Aku pingin jadi
dokter! DOKTER!”
“Aku, sih, ingin memajukan
ekonomi dan keadilan di Indonesia,” kata Eri, menarik tangannya dari telinga.
“HIDUP ANAK IPS!” teriaknya.
“Aku ingin jadi guru bahasa
Indonesia,” kata Nida. Matanya berbinar-binar. “Dan menumpas habis buta huruf
di negeri ini!”
Aku dan Eri tersenyum. Nida
tersenyum. Jika bicara tentang mimpi dengan sahabat, memang tak ada habisnya.
Karena mimpi-mimpi itulah yang membuatku, Eri maupun Nida bersemangat pergi ke
sekolah.
Tiba-tiba entah kenapa, aku
ingin mengatakan sesuatu yang sudah lama kusimpan dalam hatiku. Aku belum
mengatakannya pada dua sahabat cerdasku itu. Aku takut dianggap berlebihan,
terutama oleh Eri yang bermulut pedas. Tapi, aku akan mengatakannya sekarang.
Kuambil napas panjang.
“Aku berharap,” kataku
mengawali. Nida dan Eri memperhatikanku. “Semoga impian kita diwujudkan oleh
Allah dan semoga..” Aku mengerling Eri dan Nida bergantian. “Semoga kita tetap
menjadi sahabat sampai akhir ha....AWW!!”
Aku meringis sambil
mengusap-usap bahu kananku. Entah kenapa, tiba-tiba Eri memukulku dengan keras.
Aku hendak marah, tapi ia menyela.
“Hana itu nggak cocok bicara
seperti tadi!” katanya. “Berlebihan, deh!”
“Tanpa diucapkan pun, kita
akan tetap jadi sahabat, kok!” kata Nida, tersenyum. Aku pun tersenyum.
Namun, sepertinya perkataan Eri
benar. Harapanku itu terlalu berlebihan. Saat ini di depan kami bertiga ada
ombak besar yang siap menghantam ikatan persahabatan kami.
***
Dua hari setelah itu, aku
mulai merasakan keanehan pada diri Nida. Akhir-akhir ini ia terlihat lebih
kurus dari biasanya. Ia terlihat lesu dan letih, seperti kurang istirahat. Yang
lebih parah, ia selalu menolak ajakan kami untuk mengantarnya pulang.
“Maaf, aku ada perlu,” kata
Nida agak pelan. Kami sedang berada di depan gerbang sekolah. “Tak perlu
diantar.”
“Kalau tidak mau diantar kami,
lalu kamu naik apa?” tanyaku, agak cemas. Nida tersenyum.
“Kan bisa naik angkot, Han,”
jawabnya. “Lagipula aku lama.”
“Memangnya kamu ada urusan
apa, sih, Nid?” tanya Eri, agak sebal.
“Aku..”
Tiiin.. tiin. Tiba-tiba
terdengar suara bel sepeda motor di dekat kami. Aku berbalik. Kulihat seseorang
berjaket hitam dan mengendarai sepeda motor berhenti di dekat kami.
Siapa itu? Pikirku. Wajahnya
amat asing bagiku. Aku pun menoleh memandang Eri, yang ternyata juga
memandangku. Eri memandangku keheranan. Aku hanya mengangkat bahu tanda tak
mengerti. Entah kenapa, Nida menghampiri orang itu dan bercakap-cakap
dengannya. Lalu, Nida menghampiri kami.
“Maaf, Hana, Eri,” katanya
dengan wajah menyesal. “Aku harus pergi dengan orang itu.”
Aku melongo.
“Urusanmu dengan orang itu?”
tanya Eri dengan ekspresi tak percaya. Nida mengangguk.
Beberapa menit kemudian, Nida
sudah duduk di belakang orang itu dan mereka pun melaju meninggalkan kami yang
bengong menatap mereka.
Aku menoleh menatap Eri yang
masih bengong. Tak lama, Eri pun memandangku.
“Apa pikiranmu sama denganku?”
tanyanya. Aku mengangguk. Aku mengerti, Eri juga penasaran dengan orang itu.
Tapi tiba-tiba tanganku diapitnya.
“Bagus!” ucapnya senang. “Ayo,
kita buntuti mereka!”
Aku membelalak kaget. “HEH??”
***
BRUK! Kulempar badanku ke atas
kasur dan tidur-tiduran di sana. Aku menatap jam dinding. Pukul 4 sore.
Waktunya les kimia. Tapi aku tak ingin pergi. Kualihkan pandanganku ke
langit-langit kamar yang berwarna kuning. Warna kesukaan ibuku, tapi aku tak
terlalu suka. Hah, buat apa memikirkan warna dinding? Itu tak penting.
Kuingat-ingat kembali kejadian
tadi, saat aku dan Eri membuntuti Nida. Lalu kuingat-ingat wajah Nida yang
berseri-seri saat tiba di restoran itu, restoran yang terkenal dengan
masakannya yang serba pedas. Dan kuingat-ingat wajah pria yang mengantarnya.
Siapa orang itu? Apa hubungan
Nida dengannya? Dia bukan Kak Rifki, kakak laki-laki Nida, lalu siapa? Apa
pacar Nida? Ah, masa’ Nida pacaran. Dia kan alim. Bersalaman dengan teman cowok
saja tak mau, kenapa dia mau dibonceng orang itu?
Lalu Eri, wajahnya tampak
marah melihat Nida seperti itu. Aku sedih, tapi juga ada rasa sebal. Hanya saja
aku berkhusnudzon pada Nida. Tapi, aku juga kecewa, karena orang yang bisa
menggantikan posisiku dan Eri di sisi Nida sudah datang. Tapi kenapa cepat
sekali?
Aku pun membenamkan wajahku ke
bantal, lalu tertidur.
***
Keesokan harinya, kami bertiga
bercanda seperti biasa. Aku dan Eri bersikap seakan-akan kami tak peduli
tentang kejadian kemarin.
“Nid, besok main, yuk!” ajak
Eri pada Nida di kantin. Aku mendengarkan. “Aku sama Hana udah sepakat mau ke
toko buku bareng.”
Nida menatapku dan Eri
bergantian. Wajahnya terlihat sedih.
“Kita kan tidak pernah pergi
bersama sejak naik ke kelas XII,” kataku. “Paling tidak, hari Minggu besok
luangkan waktumu untuk istirahat.”
Nida menggeleng. “Maaf,”
katanya. “Hari Minggu besok aku ada urusan, jadi tidak bisa ikut kalian.”
“Kalau Minggu berikutnya?”
tanya Eri, terlihat kecewa. Nida menggeleng pelan.
“Minggu depan juga tidak
bisa.”
Eri terdiam. Begitu juga aku.
Lalu tiba-tiba Eri berdiri dari kursinya.
“Ke mana, Er?” tanyaku.
“Kamar mandi,” jawab Eri tanpa
menoleh ke belakang. Aku menatap punggungnya yang menjauhi tempat duduk kami.
Lalu, kualihkan pandanganku pada Nida. Dan kulihat ia juga memandang Eri dengan
tatapan sedih. Aku merasa bahwa Nida sedang menyembunyikan sesuatu pada kami,
padaku dan Eri. Namun aku tak berani menanyakannya.
***
Hari Minggu, aku diajak ibu
menjenguk salah satu temannya yang dirawat di rumah sakit. Setelah mengetahui
bakat dan minatku pada bidang kedokteran, beliau dan ayah terkadang mengajakku
ke rumah sakit jika ada teman atau kerabat yang dirawat di sana.
Teman ibu dirawat di kamar nomor
75. Karena jenuh di dalam, aku minta izin pada ibu untuk berkeliling sebentar.
Aku menoleh ke kanan setelah menutup pintu di belakangku. Dan beberapa kamar
dari sini, kulihat seseorang yang mirip dengan sahabatku, Nida, sedang
berbicara pada seorang suster. Ketika aku membuka mulut untuk memanggilnya, ia
telah masuk ke dalam kamar.
Untuk beberapa saat aku
terdiam. Berpikir. Apa itu benar-benar Nida, sahabatku? Ya, itu Nida. Kenapa
dia ada di sini? Karena ada yang sakit. Bukankah kemarin ia berkata ada urusan?
Siapa yang sakit? Tanya suster itu!
“Suster!” panggilku pada
suster tadi yang baru saja berjalan melewatiku. Suster itu kaget dan menoleh.
Aku menghampirinya.
“Anak tadi itu, pasien ya, sus?”
tanyaku pelan, setengah berbisik. Entah kenapa, suster itu juga ikut berbisik.
“Iya,” jawabnya.
“Siapa yang sakit?”
“Ayahnya,” jawab suster itu,
terlihat sedih. Aku terkejut. “Kira-kira tiga hari yang lalu beliau masuk ke
rumah sakit ini. Berdasarkan pemeriksaan dokter, ternyata beliau mengidap
penyakit ginjal dan harus segera dioperasi.”
Hatiku terasa teriris. Ya
Allah, Nida...
“Kasihan keluarga anak itu,”
kata Suster lagi, dengan suara pelan. “Ayahnya tidak bisa dioperasi kalau belum
melunasi uang administrasi. Setiap hari, ibunya menjaga sang ayah di sini, sedangkan
kakak laki-lakinya bekerja ke sana kemari. Yang paling kasihan ya anak
perempuan tadi itu.” Aku diam mendengarkan penjelasan suster. Entah kenapa,
mataku tiba-tiba terasa panas.
“Padahal dia masih SMA, tapi
sudah harus bekerja untuk mencari uang. Kalau tidak salah, kata ibunya, setiap
pulang sekolah dia kerja di restoran dan di hari Minggu seperti ini dia kemari
membantu sang ibu mengurus ayahnya,” jelas suster itu panjang lebar.
Aku terdiam. Aku sedih. Aku
marah. Sedih karena salah satu sahabatku tertimpa musibah dan marah karena aku
tak bertanya tentang keadaannya. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Setiap
pagi, wajah Nida selalu letih karena kelelahan bejerja di restoran. Matanya
sering bengkak karena ia menangis di tengah malam, meratapi nasibnya, meratapi
sikap sahabat-sahabatnya yang tidak peduli padanya. Nida..... Kenapa kau tak
bilang? Kenapa aku tak tanya?
Perlahan,
kurasakan air mataku meleleh di pipi. Dadaku sesak. Aku pun kembali ke kamar
teman ibu sambil terisak. Ibu terkejut melihatku kembali dengan hujan dan
mendung yang menyelimutiku. Seketika, aku pun memeluk ibuku dan menangis di
pelukannya.
***
Sorenya,
aku pergi ke rumah Eri untuk menceritakan kejadian di rumah sakit tadi pagi.
Kupikir reaksi Eri akan sama denganku, menangis dan merasa bersalah. Namun, tak
kusangka, ia membanting novel yang tadi dibacanya.
“Bodoh!!”
bentaknya. Aku kaget. “Nida itu bodoh banget, sih? Apa susahnya bilang ke kita
kalau lagi butuh uang? Apa dia kira nggak akan dikasih gitu?”
“Eri!
Jangan bicara begitu! Kita tahu kan, kalau Nida bukan orang seperti itu!”
kataku dengan suara agak keras. Eri merengut.
“Baiklah,
memang Nida bukan orang seperti itu,” kata Eri. “Tapi apa kau tak merasa bahwa
Nida sudah tak menganggap kita sebagai sahabatnya?” Aku mengernyit.
“Jika
ia masih menganggap kita sebagai sahabatnya, tentu dia takkan menyembunyikan
hal ini dari kita,” lanjut Eri. “Tentu ia juga pasti akan menjelaskan siapa
pria yang selalu menjemputnya sepulang sekolah dan apa yang mereka lakukan di
restoran itu sehingga tak membuat kita salah paham!”
Aku
terdiam memikirkan kata-kata Eri. Tapi, kenapa Nida tak memberi tahu keadaan
keluarganya pada kami? Mungkinkah....
“Mungkin,”
kataku. “Mungkin Nida tak ingin merepotkanku dan Eri.. Mungkin dia merasa malu
karena kita sudah banyak membantunya selama ini.”
Aku
menatap Eri. Kulihat wajahnya melunak. Tapi cepat-cepat ia tutupi dengan
memalingkan muka.
“Besok
aku akan bicara pada Nida,” kata Eri, terdengar tegas.
“Er,
sebaiknya jangan dulu,” cegahku. “Tunggu sampai Nida cerita dan meminta bantuan
kita. Itulah yang disarankan ibuku.”
“Han,
memangnya kita tunggu sampai kapan?” kata Eri, nada suaranya kembali meninggi.
“Apa kita harus menunggu sampai ayahnya....”
Eri
menutup mulutnya dengan tangannya. Ia sadar dan menyesal dengan apa yang hampir
diucapkannya. Kudengar kata-kata istighfar dari mulutnya. Aku mengusap
pundaknya dan tersenyum. Eri memandangku. Kemudian ia mengangguk, tanda ia
telah setuju dengan saran ibuku. Saat itu, aku berdoa semoga masih ada harapan
untuk ayah Nida.
***
Keesokan
harinya, sepulang sekolah aku menyusul Nida di kelasnya.
“Nid,
bareng aku, yuk!” ajakku pada Nida yang sedang mengemasi barang-barangnya.
“Ah,
maaf aku...”
“Kau
itu gimana, sih, Han?” potong Eri, tiba-tiba muncul di dekat kami. “Nida kan
setiap hari dijemput pacarnya.”
Nida
terkejut mendengat ucapan Eri. Aku melotot ke arah Eri.
“Dia
bukan pacarku, Er,” kata Nida, terlihat tenang.
“Kalau
bukan pacar, lalu siapa?” tanya Eri. Aku hendak memotongnya, tapi dia bicara
kembali. Kali ini nadanya ditinggikan. “Kalau bukan pacar, mana mungkin hampir
setiap hari dia menyusulmu?”
“Dia
bukan pacarku, Er! Tapi....” Nida terdiam sejenak, terlihat bimbang. Eri tersenyum
mengejek. Aku tak tahan melihatnya.
“Dia...,”
kata Nida. Aku berharap semoga kali ini Nida akan jujur dan menceritakan
semuanya pada kami. “Dia... teman kakakku! Ya! Dia teman kakakku yang kebetulan
lewat!”
“Eh?”
celetukku. Kenapa? Kenapa kau tak mau jujur pada kami, Nid? Kalau tidak jujur
nanti.... BRAKKKK!!!!
Eri
menggebrak meja Nida begitu keras. Aku dan Nida terkejut. Kulihat wajah Eri
memerah. Eri marah, pikirku. Ya Allah...
“Kenapa
kau nggak jujur saja, sih??” bentak Eri pada Nida. Nida menatap Eri dengan
ketakutan. Aku panik. Kupegang lengannya.
“Eri,
jangan, Er!” cegahku. “Kita sudah sepakat, kan?”
“Aku
sudah tak tahan, Han!” teriak Eri. “Si bodoh ini sudah tak menganggap kita
sebagai sahabatnya lagi!!” Eri mengacungkan jari telunjuknya ke arah Nida.
“Apa
maksud kalian?” tanya Nida dengan nada yang dipaksakan. “Sepakat? Sepakat apa?”
“Jangan
pura-pura! Dasar!!”
Tangan
Eri terlepas dari peganganku. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, hendak
menampar Nida. Aku berusaha keras mencegahnya, tapi...
“Sudah!
Hentikan!” teriak Eri. Kulihat ia memeluk Nida dengan erat. “Hentikan
kebohonganmu itu, Nida! Ceritakan pada kami, jujurlah pada kami!” Eri mulai
terisak. “Bukankah kami ini sahabatmu?”
Aku
terpaku melihat Eri yang memeluk Nida dengan erat. Kuhela napas lega.
Syukurlah, kupikir tadi akan berakhir dengan tamparan ala sinetron-sinetron.
Aku
memandang Nida yang balas menatapku. Aku tersenyum padanya. Ia terpaku dan
matanya mulai berkaca-kaca, kemudian air matanya menetes. Nida menangis.
Tangannya memeluk erat Eri dan ia membenamkan wajahnya di pundak sahabatnya
itu. Nida dan Eri menangis bersama.
Terkadang
aku sebal dengan sifat latahku. Sifat itu hanya muncul ketika aku melihat
sahabat-sahabatku tersenyum dan menangis. Saat mereka tersenyum, spontan aku
ikut tersenyum. Dan saat mereka menangis sesenggukan seperti ini, aku pun ikut
menangis. Air mataku keluar tanpa dikomando. Ya Allah. Apakah ini yang namanya
sahabat? Suka dan duka semua merasakannya, walau hanya satu orang yang
mengalaminya.
***
Empat
bulan kemudian, ayah Nida sembuh total. Nida dan keluarganya berbahagia.
Termasuk aku dan Eri.
Setelah
peristiwa tangis-tangisan waktu itu, Nida menceritakan semuanya pada kami. Ia
menjelaskan alasan mengapa ia tak pernah mau diantar pulang, mengapa ia selalu
terlihat letih dan lesu tiap pagi, mengapa ia selalu berhalangan di hari Minggu
dan alasan mengapa ia tidak ingin bercerita pada kami.
“Secara
logis,” kataku setelah mendengar alasan terakhir Nida.
“Wah,
IPA-nya keluar, deh,” celetuk Eri sehingga membuat mulutku maju beberapa senti.
“Secara
logis, selama ini kami selalu menawari bantuan padamu,” kataku akhirnya. Nida
mengangguk memperhatikanku. “Karena itu, sah-sah saja jika kamu meminta sesuatu
pada kami.”
“Hana,
masalahnya si Nida ini tidak berpikir secara logis, tapi secara perasaan,”
sindir Eri. Kali ini kulayangkan tatapan sinis padanya. Namun Eri hanya
tertawa-tawa.
“Maaf,
ya,” kata Nida, membuat kami berdua menoleh padanya. “Aku benar-benar sungkan untuk
minta tolong pada kalian. Karena selama ini aku sudah....”
“Eh,
eh, lalu siapa orang yang selalu menjemputmu itu?” potong Eri. Ia mengerling
padaku. Aku mengerti.
“Iya,
siapa?” tanyaku ikut-ikutan. “Dia bukan kakakmu, Mas Rifki, kan?”
Nida
menggeleng sambil tersenyum. Mataku dan Eri terbelalak melihat ekspresi Nida
yang sedikit bungah.
“Jadi
dia....?”
“Dia
itu.... masa’...??”
Nida
mengangguk. Aku dan Eri berpandangan jahil.
“Dia
itu teman Mas Rifki,” jawab Nida.
“Heh?”
celetukku dan Eri bersamaan. Lagi-lagi, Nida mengangguk.
“Iya,
dia Mas Oki, teman Mas Rifki. Kakak minta bantuan Mas Oki yang punya usaha
restoran untuk bisa mempekerjakanku sebagai pekerja paruh waktu sampai ayah
bisa dioperasi,” jelas Nida. Aku melongo mendengar penjelasan Nida. Eri
terlihat sedang memutar bola matanya, tanda dia tak percaya.
“Jadi,
dia bukan pacarmu?” tanyaku kecewa. Tak disangka, reaksi Nida berlebihan.
“Bu..
bukan! Tentu saja bukan!” jawab Nida, terlihat gugup. Wajahnya yang kini merah
semerah bunga geranium membuatku dan Eri ingin menggodanya.
“Bukan
pacar, tapi kamu suka, kan?” goda Eri. Nida mencubit lengan Eri, masih dengan
muka geranium. Aku hanya tertawa melihat Eri disiksa oleh cubitan Nida.
Saat
itu, saat melihat keadaan keluarga Nida, aku berjanji pada diriku sendiri dan
pada Allah. Jika aku menjadi dokter, aku akan mendirikan sebuah rumah sakit,
ah, tidak. Mungkin klinik kecil tapi memiliki peralatan lengkap dan aku tidak
menunggu keluarga pasien melunasi biaya berobat untuk merawatnya. Itulah
janjiku pada Allah.
***
Beberapa
tahun kemudian.
“Dokter
Hana,” panggil seorang perawat padaku. “Anda mendapat tamu.”
Aku
berjalan menuju ruang tunggu pasien dan kudapati dua orang sahabatku duduk
santai di salah satu kursi. Mereka melambaikan tangan dan tersenyum ketika
melihatku.
Alhamdulillah,
cita-cita mulia kami diwujudkan oleh Allah. Eri yang awalnya bingung memilih
antara pengacara dan DPR, akhirnya dijadikan seorang hakim yang “lurus”
oleh-Nya. Dan Nida yang bercita-cita menjadi guru bahasa, kini tampil dengan
baju batik. Aku terkejut ketika mendengar bahwa ia menjabat sebagai kepala
sekolah sekaligus guru bahasa Indonesia di sekolah yang ia dirikan untuk anak
jalanan dan kurang mampu. Sedangkan aku, alhamdulillah, klinik kecilku telah
berdiri. Di sini, dibantu dengan tiga orang perawat, aku berusaha meningkatkan
taraf kesehatan masyarakat sekitar, tanpa memungut biaya. Tapi, kalau diberi
dengan sukarela, tentu aku terima. Hahaha..
Sekian.
Nama: Ranny Rufaidah
Kelas: XII IA 2
No. Absen: 38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar