hanya sebuah blog milik seorang blogger amatiran. di sinilah ia menuliskan semua yang ingin ia ungkapkan, tapi yang tak bisa ia utarakan....

Sabtu, 09 Juni 2012

cerpen

ngomong-ngomong... semenjak memiliki blog, aku tak tahu dan bingung harus menulis apa. lalu malam, eh, pagi ini aku mendapat ide, kenapa tak kutampilkan saja cerpen yang dulu pernah kubuat pada tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia di waktu SMA?? akhirnya, inilah cerpen yang membuatku sedikit puas saat mengumpulkannya pada Bu Hesty, guru Bahasa Indonesia-ku saat itu. mohon komentarnya, ya... arigatou gozaimasu...



Rahasia Nida

Kusambut pagi ini dengan riang seperti biasanya. Sambil berdo’a: “semoga hari ini lebih baik dari kemarin”, aku pamit pada kedua orangtuaku untuk menuntut ilmu. Dengan mengendarai kuda putihku (maksudnya sepeda motor berwarna putih), aku pun menuju ke rumah sahabatku, Eri, untuk mengajaknya berangkat bersama. 
            Rumah Eri sangat besar, walaupun tak sebesar kerajaan Nabi Sulaiman a.s. Namun Eri dan keluarganya tidaklah sombong, mereka amat ramah dan dermawan. Mereka tak segan-segan memberikan sejumlah uang pada warga atau tetangga yang kesusahan. Aku mengetahui hal itu karena sudah 3 tahun aku berteman dengan Eri dan hapal betul kebiasaannya yang memberi sedekah pada gelandangan.
            Sesampainya di rumah Eri, kulihat ia sudah siap dengan Revo merahnya.
            “Assalamu’alaikum,” salam Eri.
            “Wa’alaikumussalam warahmatullah,” jawabku.
            “Langsung aja, yuk!” Ajak Eri seraya menstarter sepedanya. “Kasihan si Nida yang lagi nunggu.”
Aku mengangguk. Kami pun berangkat ke rumah Nida, sahabatku yang kedua.
Berbeda dengan Eri, rumah Nida lumayan kecil. Maklum, ayahnya hanyalah supir angkot dan ibunya bekerja sebagai penjual kue keliling. Kakaknya hanya lulusan SMA dan kini bekerja sebagai buruh bangunan. Meski demikian, dengan ikhlas aku dan Eri menerima Nida sebagai sahabat kami karena menurut kami, Nida memiliki kekayaan yang lebih dari pada aku maupun Eri, yaitu kekayaan hati dan pengetahuan.
Rumah Nida terletak di sebuah gang. Ada aturan yang berlaku di gang itu, yakni sepeda motor harus dituntun jika ingin masuk ke dalam. Bagiku dan Eri, hal itu sangat merepotkan karena jalan masuk ke rumah Nida lumayan jauh. Untunglah, Nida amat pengertian pada kami. Ia selalu menunggu di depan gang saat kami berjanji akan menjemputnya.
“Assalamu’alaikum,” salamku dan Eri kompak.
“Wa’alaikumussalam Wr. Wb.,” jawab Nida tersenyum.
“Ayo, Nid, naik!” ajak Eri. “Mau digonceng Hana yang ‘lemah gemulai’ atau aku yang super cepat?” Eri menyeringai ke arahku. Aku pura-pura tak mendengar.
“Hana aja, deh,” kata Nida, tersenyum. Aku menjulurkan lidahku ke arah Eri, tapi dia hanya bersikap cool sambil mengangkat bahu.
Lalu, kuda putihku dan kuda merah (memangnya ada?) milik Eri pun melaju ke sekolah kami tercinta, SMA Purna Wijaya.
***
 “Haah... Alhamdulillah ujian Semester 1 selesai,” kataku sambil menghela nafas lega. Seminggu yang lalu kami menjalani ujian Semester 1 yang amat berat, menurutku. “Kira-kira kimiaku dapat berapa, ya? Aku benar-benar nggak bisa ngerjakan waktu itu..”
“Kalau aku, sih, pasti dapat seratus!” kata Eri dengan sombongnya. Aku mendengus kesal.
“Huh, kamu kan anak IPS, mana mungkin dapat soal kimia!” balasku.
“Aku ragu dengan matematikaku,” kata Nida. Ia menunduk sedih. “Dari dulu aku lemah di matematika.”
“Tenang saja, Nid,” kata Eri sambil menepuk pundak Nida. “Nanti bakalan diajari sama si Profesor Hana ini.”
Eri menunjukku sambil tertawa mengejek. Aku memukul lengannya karena sebal.
“Aku nggak mau jadi Profesor!” teriakku di dekat telinga Eri. Spontan ia menutup telinganya. “Aku pingin jadi dokter! DOKTER!”
“Aku, sih, ingin memajukan ekonomi dan keadilan di Indonesia,” kata Eri, menarik tangannya dari telinga. “HIDUP ANAK IPS!” teriaknya.
“Aku ingin jadi guru bahasa Indonesia,” kata Nida. Matanya berbinar-binar. “Dan menumpas habis buta huruf di negeri ini!”
Aku dan Eri tersenyum. Nida tersenyum. Jika bicara tentang mimpi dengan sahabat, memang tak ada habisnya. Karena mimpi-mimpi itulah yang membuatku, Eri maupun Nida bersemangat pergi ke sekolah.
Tiba-tiba entah kenapa, aku ingin mengatakan sesuatu yang sudah lama kusimpan dalam hatiku. Aku belum mengatakannya pada dua sahabat cerdasku itu. Aku takut dianggap berlebihan, terutama oleh Eri yang bermulut pedas. Tapi, aku akan mengatakannya sekarang. Kuambil napas panjang.
“Aku berharap,” kataku mengawali. Nida dan Eri memperhatikanku. “Semoga impian kita diwujudkan oleh Allah dan semoga..” Aku mengerling Eri dan Nida bergantian. “Semoga kita tetap menjadi sahabat sampai akhir ha....AWW!!”
Aku meringis sambil mengusap-usap bahu kananku. Entah kenapa, tiba-tiba Eri memukulku dengan keras. Aku hendak marah, tapi ia menyela.
“Hana itu nggak cocok bicara seperti tadi!” katanya. “Berlebihan, deh!”
“Tanpa diucapkan pun, kita akan tetap jadi sahabat, kok!” kata Nida, tersenyum. Aku pun tersenyum.
Namun, sepertinya perkataan Eri benar. Harapanku itu terlalu berlebihan. Saat ini di depan kami bertiga ada ombak besar yang siap menghantam ikatan persahabatan kami.
***
Dua hari setelah itu, aku mulai merasakan keanehan pada diri Nida. Akhir-akhir ini ia terlihat lebih kurus dari biasanya. Ia terlihat lesu dan letih, seperti kurang istirahat. Yang lebih parah, ia selalu menolak ajakan kami untuk mengantarnya pulang.
“Maaf, aku ada perlu,” kata Nida agak pelan. Kami sedang berada di depan gerbang sekolah. “Tak perlu diantar.”
“Kalau tidak mau diantar kami, lalu kamu naik apa?” tanyaku, agak cemas. Nida tersenyum.
“Kan bisa naik angkot, Han,” jawabnya. “Lagipula aku lama.”
“Memangnya kamu ada urusan apa, sih, Nid?” tanya Eri, agak sebal.
“Aku..”
Tiiin.. tiin. Tiba-tiba terdengar suara bel sepeda motor di dekat kami. Aku berbalik. Kulihat seseorang berjaket hitam dan mengendarai sepeda motor berhenti di dekat kami.
Siapa itu? Pikirku. Wajahnya amat asing bagiku. Aku pun menoleh memandang Eri, yang ternyata juga memandangku. Eri memandangku keheranan. Aku hanya mengangkat bahu tanda tak mengerti. Entah kenapa, Nida menghampiri orang itu dan bercakap-cakap dengannya. Lalu, Nida menghampiri kami.
“Maaf, Hana, Eri,” katanya dengan wajah menyesal. “Aku harus pergi dengan orang itu.”
Aku melongo.
“Urusanmu dengan orang itu?” tanya Eri dengan ekspresi tak percaya. Nida mengangguk.
Beberapa menit kemudian, Nida sudah duduk di belakang orang itu dan mereka pun melaju meninggalkan kami yang bengong menatap mereka.
Aku menoleh menatap Eri yang masih bengong. Tak lama, Eri pun memandangku.
“Apa pikiranmu sama denganku?” tanyanya. Aku mengangguk. Aku mengerti, Eri juga penasaran dengan orang itu. Tapi tiba-tiba tanganku diapitnya.
“Bagus!” ucapnya senang. “Ayo, kita buntuti mereka!”
Aku membelalak kaget. “HEH??”
***
BRUK! Kulempar badanku ke atas kasur dan tidur-tiduran di sana. Aku menatap jam dinding. Pukul 4 sore. Waktunya les kimia. Tapi aku tak ingin pergi. Kualihkan pandanganku ke langit-langit kamar yang berwarna kuning. Warna kesukaan ibuku, tapi aku tak terlalu suka. Hah, buat apa memikirkan warna dinding? Itu tak penting.
Kuingat-ingat kembali kejadian tadi, saat aku dan Eri membuntuti Nida. Lalu kuingat-ingat wajah Nida yang berseri-seri saat tiba di restoran itu, restoran yang terkenal dengan masakannya yang serba pedas. Dan kuingat-ingat wajah pria yang mengantarnya.
Siapa orang itu? Apa hubungan Nida dengannya? Dia bukan Kak Rifki, kakak laki-laki Nida, lalu siapa? Apa pacar Nida? Ah, masa’ Nida pacaran. Dia kan alim. Bersalaman dengan teman cowok saja tak mau, kenapa dia mau dibonceng orang itu?
Lalu Eri, wajahnya tampak marah melihat Nida seperti itu. Aku sedih, tapi juga ada rasa sebal. Hanya saja aku berkhusnudzon pada Nida. Tapi, aku juga kecewa, karena orang yang bisa menggantikan posisiku dan Eri di sisi Nida sudah datang. Tapi kenapa cepat sekali?
Aku pun membenamkan wajahku ke bantal, lalu tertidur.
***
Keesokan harinya, kami bertiga bercanda seperti biasa. Aku dan Eri bersikap seakan-akan kami tak peduli tentang kejadian kemarin.
“Nid, besok main, yuk!” ajak Eri pada Nida di kantin. Aku mendengarkan. “Aku sama Hana udah sepakat mau ke toko buku bareng.”
Nida menatapku dan Eri bergantian. Wajahnya terlihat sedih.
“Kita kan tidak pernah pergi bersama sejak naik ke kelas XII,” kataku. “Paling tidak, hari Minggu besok luangkan waktumu untuk istirahat.”
Nida menggeleng. “Maaf,” katanya. “Hari Minggu besok aku ada urusan, jadi tidak bisa ikut kalian.”
“Kalau Minggu berikutnya?” tanya Eri, terlihat kecewa. Nida menggeleng pelan.
“Minggu depan juga tidak bisa.”
Eri terdiam. Begitu juga aku. Lalu tiba-tiba Eri berdiri dari kursinya.
“Ke mana, Er?” tanyaku.
“Kamar mandi,” jawab Eri tanpa menoleh ke belakang. Aku menatap punggungnya yang menjauhi tempat duduk kami. Lalu, kualihkan pandanganku pada Nida. Dan kulihat ia juga memandang Eri dengan tatapan sedih. Aku merasa bahwa Nida sedang menyembunyikan sesuatu pada kami, padaku dan Eri. Namun aku tak berani menanyakannya.
***
Hari Minggu, aku diajak ibu menjenguk salah satu temannya yang dirawat di rumah sakit. Setelah mengetahui bakat dan minatku pada bidang kedokteran, beliau dan ayah terkadang mengajakku ke rumah sakit jika ada teman atau kerabat yang dirawat di sana.
Teman ibu dirawat di kamar nomor 75. Karena jenuh di dalam, aku minta izin pada ibu untuk berkeliling sebentar. Aku menoleh ke kanan setelah menutup pintu di belakangku. Dan beberapa kamar dari sini, kulihat seseorang yang mirip dengan sahabatku, Nida, sedang berbicara pada seorang suster. Ketika aku membuka mulut untuk memanggilnya, ia telah masuk ke dalam kamar.
Untuk beberapa saat aku terdiam. Berpikir. Apa itu benar-benar Nida, sahabatku? Ya, itu Nida. Kenapa dia ada di sini? Karena ada yang sakit. Bukankah kemarin ia berkata ada urusan? Siapa yang sakit? Tanya suster itu!
“Suster!” panggilku pada suster tadi yang baru saja berjalan melewatiku. Suster itu kaget dan menoleh. Aku menghampirinya.
“Anak tadi itu, pasien ya, sus?” tanyaku pelan, setengah berbisik. Entah kenapa, suster itu juga ikut berbisik.
“Iya,” jawabnya.
“Siapa yang sakit?”
“Ayahnya,” jawab suster itu, terlihat sedih. Aku terkejut. “Kira-kira tiga hari yang lalu beliau masuk ke rumah sakit ini. Berdasarkan pemeriksaan dokter, ternyata beliau mengidap penyakit ginjal dan harus segera dioperasi.”
Hatiku terasa teriris. Ya Allah, Nida...
“Kasihan keluarga anak itu,” kata Suster lagi, dengan suara pelan. “Ayahnya tidak bisa dioperasi kalau belum melunasi uang administrasi. Setiap hari, ibunya menjaga sang ayah di sini, sedangkan kakak laki-lakinya bekerja ke sana kemari. Yang paling kasihan ya anak perempuan tadi itu.” Aku diam mendengarkan penjelasan suster. Entah kenapa, mataku tiba-tiba terasa panas.
“Padahal dia masih SMA, tapi sudah harus bekerja untuk mencari uang. Kalau tidak salah, kata ibunya, setiap pulang sekolah dia kerja di restoran dan di hari Minggu seperti ini dia kemari membantu sang ibu mengurus ayahnya,” jelas suster itu panjang lebar.
Aku terdiam. Aku sedih. Aku marah. Sedih karena salah satu sahabatku tertimpa musibah dan marah karena aku tak bertanya tentang keadaannya. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Setiap pagi, wajah Nida selalu letih karena kelelahan bejerja di restoran. Matanya sering bengkak karena ia menangis di tengah malam, meratapi nasibnya, meratapi sikap sahabat-sahabatnya yang tidak peduli padanya. Nida..... Kenapa kau tak bilang? Kenapa aku tak tanya?
            Perlahan, kurasakan air mataku meleleh di pipi. Dadaku sesak. Aku pun kembali ke kamar teman ibu sambil terisak. Ibu terkejut melihatku kembali dengan hujan dan mendung yang menyelimutiku. Seketika, aku pun memeluk ibuku dan menangis di pelukannya.
***
            Sorenya, aku pergi ke rumah Eri untuk menceritakan kejadian di rumah sakit tadi pagi. Kupikir reaksi Eri akan sama denganku, menangis dan merasa bersalah. Namun, tak kusangka, ia membanting novel yang tadi dibacanya.
            “Bodoh!!” bentaknya. Aku kaget. “Nida itu bodoh banget, sih? Apa susahnya bilang ke kita kalau lagi butuh uang? Apa dia kira nggak akan dikasih gitu?”
            “Eri! Jangan bicara begitu! Kita tahu kan, kalau Nida bukan orang seperti itu!” kataku dengan suara agak keras. Eri merengut.
            “Baiklah, memang Nida bukan orang seperti itu,” kata Eri. “Tapi apa kau tak merasa bahwa Nida sudah tak menganggap kita sebagai sahabatnya?” Aku mengernyit.
            “Jika ia masih menganggap kita sebagai sahabatnya, tentu dia takkan menyembunyikan hal ini dari kita,” lanjut Eri. “Tentu ia juga pasti akan menjelaskan siapa pria yang selalu menjemputnya sepulang sekolah dan apa yang mereka lakukan di restoran itu sehingga tak membuat kita salah paham!”
            Aku terdiam memikirkan kata-kata Eri. Tapi, kenapa Nida tak memberi tahu keadaan keluarganya pada kami? Mungkinkah....
            “Mungkin,” kataku. “Mungkin Nida tak ingin merepotkanku dan Eri.. Mungkin dia merasa malu karena kita sudah banyak membantunya selama ini.”
            Aku menatap Eri. Kulihat wajahnya melunak. Tapi cepat-cepat ia tutupi dengan memalingkan muka.
            “Besok aku akan bicara pada Nida,” kata Eri, terdengar tegas.
            “Er, sebaiknya jangan dulu,” cegahku. “Tunggu sampai Nida cerita dan meminta bantuan kita. Itulah yang disarankan ibuku.”
            “Han, memangnya kita tunggu sampai kapan?” kata Eri, nada suaranya kembali meninggi. “Apa kita harus menunggu sampai ayahnya....”
            Eri menutup mulutnya dengan tangannya. Ia sadar dan menyesal dengan apa yang hampir diucapkannya. Kudengar kata-kata istighfar dari mulutnya. Aku mengusap pundaknya dan tersenyum. Eri memandangku. Kemudian ia mengangguk, tanda ia telah setuju dengan saran ibuku. Saat itu, aku berdoa semoga masih ada harapan untuk ayah Nida.
***
            Keesokan harinya, sepulang sekolah aku menyusul Nida di kelasnya.
            “Nid, bareng aku, yuk!” ajakku pada Nida yang sedang mengemasi barang-barangnya.
            “Ah, maaf aku...”
            “Kau itu gimana, sih, Han?” potong Eri, tiba-tiba muncul di dekat kami. “Nida kan setiap hari dijemput pacarnya.”
            Nida terkejut mendengat ucapan Eri. Aku melotot ke arah Eri.
            “Dia bukan pacarku, Er,” kata Nida, terlihat tenang.
            “Kalau bukan pacar, lalu siapa?” tanya Eri. Aku hendak memotongnya, tapi dia bicara kembali. Kali ini nadanya ditinggikan. “Kalau bukan pacar, mana mungkin hampir setiap hari dia menyusulmu?”
            “Dia bukan pacarku, Er! Tapi....” Nida terdiam sejenak, terlihat bimbang. Eri tersenyum mengejek. Aku tak tahan melihatnya.
            “Dia...,” kata Nida. Aku berharap semoga kali ini Nida akan jujur dan menceritakan semuanya pada kami. “Dia... teman kakakku! Ya! Dia teman kakakku yang kebetulan lewat!”
            “Eh?” celetukku. Kenapa? Kenapa kau tak mau jujur pada kami, Nid? Kalau tidak jujur nanti.... BRAKKKK!!!!
            Eri menggebrak meja Nida begitu keras. Aku dan Nida terkejut. Kulihat wajah Eri memerah. Eri marah, pikirku. Ya Allah...
            “Kenapa kau nggak jujur saja, sih??” bentak Eri pada Nida. Nida menatap Eri dengan ketakutan. Aku panik. Kupegang lengannya.
            “Eri, jangan, Er!” cegahku. “Kita sudah sepakat, kan?”
            “Aku sudah tak tahan, Han!” teriak Eri. “Si bodoh ini sudah tak menganggap kita sebagai sahabatnya lagi!!” Eri mengacungkan jari telunjuknya ke arah Nida.
            “Apa maksud kalian?” tanya Nida dengan nada yang dipaksakan. “Sepakat? Sepakat apa?”
            “Jangan pura-pura! Dasar!!”
            Tangan Eri terlepas dari peganganku. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, hendak menampar Nida. Aku berusaha keras mencegahnya, tapi...
            “Sudah! Hentikan!” teriak Eri. Kulihat ia memeluk Nida dengan erat. “Hentikan kebohonganmu itu, Nida! Ceritakan pada kami, jujurlah pada kami!” Eri mulai terisak. “Bukankah kami ini sahabatmu?”
            Aku terpaku melihat Eri yang memeluk Nida dengan erat. Kuhela napas lega. Syukurlah, kupikir tadi akan berakhir dengan tamparan ala sinetron-sinetron.
            Aku memandang Nida yang balas menatapku. Aku tersenyum padanya. Ia terpaku dan matanya mulai berkaca-kaca, kemudian air matanya menetes. Nida menangis. Tangannya memeluk erat Eri dan ia membenamkan wajahnya di pundak sahabatnya itu. Nida dan Eri menangis bersama.
            Terkadang aku sebal dengan sifat latahku. Sifat itu hanya muncul ketika aku melihat sahabat-sahabatku tersenyum dan menangis. Saat mereka tersenyum, spontan aku ikut tersenyum. Dan saat mereka menangis sesenggukan seperti ini, aku pun ikut menangis. Air mataku keluar tanpa dikomando. Ya Allah. Apakah ini yang namanya sahabat? Suka dan duka semua merasakannya, walau hanya satu orang yang mengalaminya.
***
            Empat bulan kemudian, ayah Nida sembuh total. Nida dan keluarganya berbahagia. Termasuk aku dan Eri.
            Setelah peristiwa tangis-tangisan waktu itu, Nida menceritakan semuanya pada kami. Ia menjelaskan alasan mengapa ia tak pernah mau diantar pulang, mengapa ia selalu terlihat letih dan lesu tiap pagi, mengapa ia selalu berhalangan di hari Minggu dan alasan mengapa ia tidak ingin bercerita pada kami.
            “Secara logis,” kataku setelah mendengar alasan terakhir Nida.
            “Wah, IPA-nya keluar, deh,” celetuk Eri sehingga membuat mulutku maju beberapa senti.
            “Secara logis, selama ini kami selalu menawari bantuan padamu,” kataku akhirnya. Nida mengangguk memperhatikanku. “Karena itu, sah-sah saja jika kamu meminta sesuatu pada kami.”
            “Hana, masalahnya si Nida ini tidak berpikir secara logis, tapi secara perasaan,” sindir Eri. Kali ini kulayangkan tatapan sinis padanya. Namun Eri hanya tertawa-tawa.
            “Maaf, ya,” kata Nida, membuat kami berdua menoleh padanya. “Aku benar-benar sungkan untuk minta tolong pada kalian. Karena selama ini aku sudah....”
            “Eh, eh, lalu siapa orang yang selalu menjemputmu itu?” potong Eri. Ia mengerling padaku. Aku mengerti.
            “Iya, siapa?” tanyaku ikut-ikutan. “Dia bukan kakakmu, Mas Rifki, kan?”
            Nida menggeleng sambil tersenyum. Mataku dan Eri terbelalak melihat ekspresi Nida yang sedikit bungah.
            “Jadi dia....?”
            “Dia itu.... masa’...??”
            Nida mengangguk. Aku dan Eri berpandangan jahil.
            “Dia itu teman Mas Rifki,” jawab Nida.
            “Heh?” celetukku dan Eri bersamaan. Lagi-lagi, Nida mengangguk.
            “Iya, dia Mas Oki, teman Mas Rifki. Kakak minta bantuan Mas Oki yang punya usaha restoran untuk bisa mempekerjakanku sebagai pekerja paruh waktu sampai ayah bisa dioperasi,” jelas Nida. Aku melongo mendengar penjelasan Nida. Eri terlihat sedang memutar bola matanya, tanda dia tak percaya.
            “Jadi, dia bukan pacarmu?” tanyaku kecewa. Tak disangka, reaksi Nida berlebihan.
            “Bu.. bukan! Tentu saja bukan!” jawab Nida, terlihat gugup. Wajahnya yang kini merah semerah bunga geranium membuatku dan Eri ingin menggodanya.
            “Bukan pacar, tapi kamu suka, kan?” goda Eri. Nida mencubit lengan Eri, masih dengan muka geranium. Aku hanya tertawa melihat Eri disiksa oleh cubitan Nida.
            Saat itu, saat melihat keadaan keluarga Nida, aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Allah. Jika aku menjadi dokter, aku akan mendirikan sebuah rumah sakit, ah, tidak. Mungkin klinik kecil tapi memiliki peralatan lengkap dan aku tidak menunggu keluarga pasien melunasi biaya berobat untuk merawatnya. Itulah janjiku pada Allah.
***
            Beberapa tahun kemudian.
            “Dokter Hana,” panggil seorang perawat padaku. “Anda mendapat tamu.”
            Aku berjalan menuju ruang tunggu pasien dan kudapati dua orang sahabatku duduk santai di salah satu kursi. Mereka melambaikan tangan dan tersenyum ketika melihatku.
            Alhamdulillah, cita-cita mulia kami diwujudkan oleh Allah. Eri yang awalnya bingung memilih antara pengacara dan DPR, akhirnya dijadikan seorang hakim yang “lurus” oleh-Nya. Dan Nida yang bercita-cita menjadi guru bahasa, kini tampil dengan baju batik. Aku terkejut ketika mendengar bahwa ia menjabat sebagai kepala sekolah sekaligus guru bahasa Indonesia di sekolah yang ia dirikan untuk anak jalanan dan kurang mampu. Sedangkan aku, alhamdulillah, klinik kecilku telah berdiri. Di sini, dibantu dengan tiga orang perawat, aku berusaha meningkatkan taraf kesehatan masyarakat sekitar, tanpa memungut biaya. Tapi, kalau diberi dengan sukarela, tentu aku terima. Hahaha..

Sekian.
  

Nama: Ranny Rufaidah
Kelas: XII IA 2
No. Absen: 38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar